Alois Wisnuhardana*
Setahun sudah pandemi Covid-19 melanda bumi. Belum ada tanda-tanda menuju normal. Tapi semua langkah sedang diupayakan menuju ke sana.
Perjalanan masih akan panjang, dan pandemi telah mengubah banyak hal. Ia menimbulkan tumpukan masalah, tapi juga membukakan masalah yang selama ini terkubur, tersembunyi, atau sengaja dibuat demikian.
Kesehatan manusia tentu masih akan menghadapi tantangan berat. Penyakit-penyakit klasik —jantung, paru-paru, diabetes, tuberkulosis, dengue– belum juga mampu kita basmi habis, lalu virus Covid-19 menimpalinya.
Manusia dihadapkan pada bayangan kematian yang nyata, meski jumlah korban meninggal akibat virus ini jauh lebih sedikit dibandingkan dengan wabah atau pandemi influenza seabad silam.
Kita memang selalu merindukan suatu kehidupan yang panjang –sampai-sampai ingin hidup seribu tahun—meski yang ingin kita panjangkan itu mengandung kepahitan.
Pada tahap awal pandemi, upaya untuk mengisolasi virus dilakukan oleh pemerintahan bangsa-bangsa, dalam skala yang belum pernah terjadi seingatan manusia yang hidup hari ini. Artinya, tidak ada orang atau bangsa yang pernah punya pengalaman ini sebelumnya. Menutup diri, membatasi pergerakan manusia di ruang publik, melacak yang terpapar, mengobati yang sudah terkapar, menjadi ikhtiar yang terus dikejar.
Tapi virus –barang tak kelihatan mata—terus merayap tak bisa dihambat. Langkah-langkah untuk menjaga ketahanan tubuh, kedisiplinan menjalankan protokol kesehatan, tentu tak bisa dikesampingkan sebagai upaya penanggulangan dan penularan yang makin luas. Tapi virus telah merangsek lebih dalam.
Virus hari ini telah bersemai di ruang-ruang privat manusia. Di rumah-rumah. Sudah tidak diketahui lagi dari mana ia datang dan kemudian singgah menghampiri anggota-anggota rumah yang paling disayang. Mereka yang komorbid makin jeri menatap situasi. Sarana-sarana medis terutama rumah sakit dalam kondisi makin terjepit, lantaran bangsal-bangsal telah penuh dan para tenaganya –dokter, perawat, sampai petugas administrasi—juga berada pada titik yang sangat jenuh.
Itu dari sisi kesehatan. Bagaimana dari sisi ekonomi?
Pandemi telah mengubah pendulum ekonomi. Tapi istilah pendulum barangkali sudah tidak tepat lagi, karena kata itu mengandaikan bahwa pada suatu titik, pendulum akan berayun dan bergeser ke arah sebaliknya dan situasi ekonomi bisa kembali normal.
Pandemi mengubah ekonomi bangsa-bangsa selamanya, dan mungkin tidak akan pernah lagi terjadi perubahan situasi ekonomi dalam skala raksasa dan seserentak seperti sekarang.
Apa saja perihal ekonomi yang berubah? Satu, pemerintah bangsa-bangsa mengalami defisit fiskal. Secara keseluruhan, karena pandemi bersifat global dan memukul setiap bangsa –besar maupun kecil, demokratis maupun otoriter, kaya maupun miskin—tidak ada pemerintahan yang tidak mengalami defisit fiskal pada tahun 2020.
Data yang dihimpun oleh McKinsey & Co memperlihatkan, defisit fiskal itu secara total mencapai 11 triliun USD atau sekitar 154 kuantiliun (juta triliun) kalau dirupiahkan. Itu setara dengan 55 ribu kali lipat APBN tahunan kita yang sekitar 2.800 triliun rupiah per tahun.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan lebih dalam. “Berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh setiap pemerintahan bangsa-bangsa untuk memulihkan defisit fiskal ini?” Belum lagi kita beroleh jawab atas pertanyaan itu, telah muncul pertanyaan lanjutannya, “Bagaimana langkah pemulihannya?”
Dua, suku bunga mencapai level terendah. Sejumlah Bank Sentral mulai menerapkan kebijakan untuk mencetak uang lebih banyak demi menutup defisit. Kita tahu bahwa mencetak uang banyak-banyak bisa berpotensi mendorong inflasi. Tapi itu tak bisa terelakkan bagi sebagian negeri.
Akibat uang yang menumpuk pada lembaga-lembaga keuangan, suku bunga mencapai rekor terendah dalam sejarah. Beberapa Bank Sentral sudah menerapkan pelonggaran dengan memberikan kemudahan untuk membeli obligasi yang diterbitkan pemerintah maupun obligasi yang diterbitkan oleh korporasi.
Pandemi telah menekan suku bunga menjadi turun hingga 1,5 basis poin. Padahal, normalnya menurunkan atau menaikkan 0,25 basis poin saja sudah membuat ekonomi berayun-ayun. Kebijakan Bank Sentral seperti ini, akan sulit untuk dikoreksi dalam jangka dekat.
Menaikkan suku bunga membuat uang menumpuk makin tak terserap. Padahal, pasar tenaga kerja dan sektor usaha yang memerlukan modal belum berani melangkah memutar uang untuk melakukan proses produksi. Yang bisa mereka lakukan hanyalah melakukan penghematan biaya operasi.
Tiga, utang perusahaan di negara-negara maju meningkat. Sesungguhnya, utang bukan cuma problem perusahaan di negara-negara maju. Utang jadi problem semua perusahaan di negara manapun. Apalagi, ketika upaya untuk mengubah utang menjadi produktif sangatlah sulit karena pandemi benar-benar menjepit situasi.
Pemerintahan bangsa-bangsa pada umumnya memberi jalan keluar dengan menawarkan utang jangka panjang bagi banyak korporasi. Utang jangka panjang dengan bunga rendah dan tenor yang makin panjang, adalah satu-satunya cara untuk bersiasat supaya perusahaan tidak gulung tikar. Bagaimanapun, mesin bisnis yang sudah dihidupkan akan selalu memerlukan likuiditas, bahkan untuk sekadar bertahan.
Bank for International Settlements mencatat bahwa perusahaan-perusahaan non-keuangan melakukan peminjaman dana mencapai 3,36 triliun USD hanya pada paruh pertama tahun 2020. Artinya, hanya dalam setengah tahun utang perusahaan atau korporasi membengkak sebegitu besar. Untuk apa utang sebanyak itu? Tentu yang paling dominan adalah sekadar untuk bisa bertahan di masa pandemi.
Empat, stimulus fiskal menjadi sangat penting. Di dalam negeri, kita mencatat dan melihat manuver Pemerintah untuk memberikan berbagai stimulus fiskal. Itu adalah instrumen paling penting sekaligus paling mendesak untuk mencoba melawan pusaran pandemi yang membuat laju ekonomi berputar mundur.
Langkah melawan pusaran balik pandemi yang disebut counter-cyclical itulah yang akan menyelamatkan sebuah negara, bertahan dari kerusakan yang semakin dalam, melindungi bisnis dan usaha yang bergerak di dalam negeri, menyelamatkan tenaga kerja yang kehilangan produktivitasnya, dan yang terpenting, melakukan berbagai langkah investasi untuk penyediaan vaksin dan penanggulangan penyakit Covid-19 ini.
Lima, terbentuknya ekonomi “K-Shaped”. Tentu saja, ini bukan seperti K-Pop alias Korea-Pop. Ini adalah suatu pola ekonomi, yang bentuknya menyerupai huruf K. Dalam suasana pandemi di mana resesi adalah fakta terbantahkan, maka semua indikator ekonomi bergerak tajam ke bawah. Seperti halnya garis tegak pada huruf K.
Setelah resesi, akan terbentuk dua garis yang bergerak berlawanan mengikuti waktu yang berjalan. Garis yang satu bergerak ke atas sampai ke puncak. Sedangkan garis yang lainnya, sebentar saja bergerak ke atas, tapi lalu menghunjam ke bawah sampai ke dasar. Jadi, kurvanya seperti kalau kita membuat huruf K itu.
Garis ke atas, menggambarkan sektor-sektor ekonomi yang diperkirakan mampu untuk bangkit dan tumbuh setelah pandemi. Industri makanan dan minuman alias mamin, teknologi, logistik, medis, perdagangan dan retail, pertanian dan perikanan, adalah contoh-contoh yang diperkirakan dapat mengikuti garis ke atas pada bentuk huruf K.
Sementara garis ke bawah adalah sektor-sektor yang mencoba untuk bangkit, tetapi dalam jangka pendek hingga menengah akan tetap mengalami kesulitan besar dan justru bukan tidak mungkin terjerembab ke dasar jurang kesulitan. Yang berada dalam kelompok ini antara lain adalah industri perjalanan atau traveling, perhotelan, hiburan, hospitality, otomotif dan transportasi, serta jasa-jasa sekunder.
Sebenarnya, masih terdapat lima ihwal lagi yang telah berubah karena pandemi. Tapi, kelima yang tersisa lebih bersifat individual dan personal. Meski demikian, yang personal tersebut tetap memiliki dampak sosial ekonomi yang signifikan.
Nah, biar Anda nggak capek bacanya, nanti saya tulis pada bagian yang berbeda.***
*Indonesia Eximbanker, tulisan ini merupakan pendapat pribadi