Opini  

KLB Demokrat, Karma, Fatsun

Oyos Saroso H.N.

Sejumlah orang yang mengaku kader dan pendiri Partai Demokrat menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) di Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara, Jumat, 5 Maret 2021. Diwarnai riak-riak drama, forum akhirnya menetapkan Moeldoko sebagai Ketua Umum Partai Demokrat periode 2021-2025.

Moeldoko adalah Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko. Beberapa waktu lalu ia menjadi berita karena dituding Ketua Umum DPP Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) terlibat dalam rencana ‘kudeta’ di Partai Demokrat. Dengan gaya bahasa ‘memutar’, Moeldoko membantah tudingan itu.

Setelah Moeldoko terpilih dan kemudian dilanjutkan dengan pembentukan pengurus DPP Partai Demokrat versi KLB Sibolangit, langkah selanjutnya adalah mendaftarkan kepengurusan tersebut ke Kementerian Hukum dan HAM. Jika itu terjadi, maka babak awal ‘pertarungan’ di tubuh Demokrat dimulai. Menariknya, ‘drama’ ini melibatkan orang yang sebelumnya berada di luar Partai Demokrat. Lebih menariknya lagi, orang itu adalah sosok yang masih dalam lingkaran kekuasaan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Pertarungan internal partai karena memperebutkan pucuk pimpinan partai bukanlah pertama kali terjadi di Indonesia. Pada era Orde Baru, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) juga pernah berkonflik hebat pada 1996. Soerjadi pada akhirnya memenangi pertarungan. Banyak yang menyebut kala itu Soerjadi disokong penguasa. Mirisnya, pengambil-alihan Kantor DPP PDI di Jalan Pangeran Diponegoro, Jakarta Pusat, harus dilakukan ‘secara berdarah’.

Konflik PDI melahirkan PDI Perjuangan yang dipimpin Megawati Soekarnoputri. Dalam Pemilu 1999 PDI versi Soerjadi keok, sedangkan PDI Perjuangan unggul.

Konflik partai yang bisa disebut besar adalah konflik yang menerpa Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada 2008. Konflik terjadi antara Ketua Dewan Syuro PKB Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dengan Ketua Dewan Tanfidz PKB, Muhaimin Iskandar. Konflik ini unik karena yang terlibat adalah paman dan kemenakan. Muhaimin adalah kemenakan Gus Dur.

Gus Dur mengaku ia memecat Muhaimin karena saat itu Muhaimin berdekat-dekat atau aktif mendekati Istana. Penghuni Istana Kepresidenan kala itu tidak adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam pertarungan di Kemenkun HAM, Muhaimin menang. Gus Dur menuding kemenangan itu ada campur tangan SBY.

Sehari setelah KLB Demokrat, di media sosial ramai orang bicara soal karma. Tagar #Karma, #KarmaSBY, dan #Maling pun menjadi jawara di perbincangan linimasa Twitter. Banyak netizen yang bersorak gembira dengan “keberhasilan” digelarnya KLB Demokrat di Sibolangit. Banyak pula yang menyebut bahwa pengambil-alihan Demokrat oleh kubu Moeldoko-Marzuki Ali sebagai bentuk karma buat SBY. Menurut banyak warganet, karma itu wajar terjadi karena SBY ketika berkuasa juga membiarkan Muhaimin Iskandar merebut PKB dari Gus Dur.

Karma itu tidak hanya dikaitkan dengan sikap SBY ketika berkuasa terhadap Gus Dur, tetapi banyak juga warganet yang mengaitkan dengan “perselisihan” atau “perseteruan” SBY dengan Megawati. Lalu dikait-kaitkanlah sejarah SBY menyiapkan membangun Partai Demokrat ketika SBY masih menjadi Menko Polkam. Lalu ketika Partai Demomrat sudah terbentuk, SBY pun maju dalam pemilihan presiden pada 2004. Kala itu SBY berhasil mengalahkan Megawati.

Itulah menurut netizen setidaknya dua “dosa” SBY pada masa lalu yang dibalaskan dengan munculnya ‘ontran-ontran’ di dalam Partai Demokrat dan berujung digelarnya KLB di Sibolangit.

Fatsun Berpolitik, Fatsun Berkuasa

Bangsa Indonesia konon sejak dulu kala mewarisi nilai-nilai luhur tentang tata krama, etika, atau sopan santun (fatsun). Galibnya sebuah warisan luhur, sopan santun itu dijaga sejak di dalam keluarga. Para orang tua mengajari anak-anaknya bersopan santun ketika berhubungan dengan orang lain.

Sopan santun juga harus diterapkan dalam dunia politik dan kekuasaan. Seorang politikus tidak sekadar hafal anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD-ART) partainya. Ia juga harus paham bagaimana mesti bersikap atau berperilaku di internal partai dan dengan masyarakat luas. Laku lajak yang menerabas fatsun umum akan dicap sebagai ‘kelakuan umum’ partainya.

Berkuasa juga harus  memakai  fatsun. Orang yang berada di dalam lingkaran kekuasaan dan digaji dengan uang rakyat, mestilah paham bagaimana fatsun tetap ia praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang yang berada di dalam lingkaran kekuasaan, secara otomatis orang tersebut memiliki ‘kekuatan’.

Mungkin kekuatan itu tidak tampak. Namun, posisinya sebagai orang yang berada di pusaran kekuasaan, orang tersebut menjadi memiliki daya ‘magnet’ untuk diajak berkolaborasi bisnis atau politik. Sudah banyak contoh kasus bagaimana orang dekat penguasa dimanfaatkan pihak luar untuk menangguk untung besar. Beberapa pejabat atau orang dekat pejabat yang ditangkap KPK dan dihukum karena terlibat korupsi atau memperlancar orang lain korupsi adalah contoh terbaik soal ini.

Maka, ketika ada pihak yang menilai bahwa SBY (melalui Kemenkum HAM) yang mengakui Muhaimin Iskandar –sekaligus otomatis mendepak Gus Dur– adalah tindakan yang salah, mestinya yang dilakukan para penyokong KLB Demokrat juga salah. Seandainya KLB Demokrat bisa dibenarkan menurut versi para pendiri dan kader Demokrat, melibatkan Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, jelas menabrak fatsun. Mesti dipahami, sopan santun itu bukan soal benar-salah tetapi soal baik-buruk.

Apa baiknya seseorang yang masih berada di dalam lingkaran kekuasaan ikut cawe-cawe urusan konflik sebuah partai? Bukankah sejak zaman Orde Baru hal semacam itu yang dikritik?

Bagi Presiden Joko Widodo, jabatan Ketua Umum Partai Demokrat yang kini disandang Moeldoko bukanlah berkah. Lebih parah dari itu, mendiamkan anak buahnya menjadi pemimpin partai hasil KLB justru akan menggerus rasa simpati publik kepada Jokowi.

Apa lagi jika kemudian Kemenkum HAM pada akhirnya mengakui pengurus Partai Demokrat hasil KLB Sibolangit sebagai pengurus yang sah. Makin sahih tudingan bahwa Jokowi merestui apa yang oleh AHY sebut sebagai kudeta di Partai Demokrat.