Opini  

Endorser

Alois Wisnuhardana

Ini bukan tukang endho. Tukang ngeles. Tukang menghindar. Endorser adalah tukang dorong. Tukang kerek, atau tukang promosi. Dan sejak adanya medsos, endorser sudah menjadi profesi yang menghasilkan uang ribuan, ratusan ribu, jutaan, hingga miliaran bagi si tukang ngeles….eh, bukan…., tukang dorong.

Dalam ekosistem di mana ekonomi internet melaju sebagai salah satu yang paling pesat di kolong jagat, Indonesia tentu saja juga panen endorser. Panenan ini, dituai dengan hiruk pikuk yang terjadi di belantara internet Indonesia dalam rentang waktu sepuluh tahun belakangan. Dan terutama lima yang paling akhir.

Endorser yang paling ramai ada di dua kolam besar yang paling menghebohkan. Kolam politik dan kolam hiburan. Di kolam politik, nama-nama baru bermunculan dan berseliweran, timbul dan tenggelam. Sebagian ada yang bertahan, sebagian lagi larut karena politik adalah dunia yang sangat kejam.

Dalam iklim politik di mana perbedaan bisa meruncing lagi menajam, salah kata atau salah ucap bisa menuntun ke jurang kegelapan. Jika memanas, bisa berujung saling lapor dan saling gugat. Ujung-ujungnya, dipanggil korps baju cokelat.

Untuk menjadi endorser politik, sampeyan nggak perlu tahu apalagi paham ilmu politik. Ilmu pada ruang serbamungkin ini menjadi relatif. Seringkali, yang segera menjadi endorser paling dicari adalah mereka yang paling berani. Berani menabrak apa saja, berani membelok logika ke mana saja. Kolam politik, adalah kolam adu berani dan adu nyali, dengan segala risikonya.

Endorser ini, sering disebut sebagai pemimpin dan pembentuk opini. Opinion leader. Yang makin kuat power-nya, menjadi key opinion leader. Pemimpin opini kunci. Namanya kunci, ya dia bisa membuka kemungkinan apa saja, tergantung ke mana kunci akan diarahkan atau diminta untuk diarahkan.

Dulu, opinion leader dibentuk oleh media massa. Terutama koran dan tivi. Menulis di koran, adalah jalan tercepat untuk menjadi pembentuk opini. Namun meskipun ini jalan tercepat, jalan ini tidak mudah. Butuh ketekunan menulis. Butuh ketajaman menganalisis. Butuh kemampuan membaca data dan angka. Dan butuh momentum yang tepat.

Hari ini, pembentuk opini tidak memerlukan ketajaman analisis. Tidak perlu keterampilan membaca data dan angka. Tak heran, seorang opinion leader yang lebih sering mengekspresikan gagasannya di media sosial, bisa jauh lebih terkenal dibandingkan seorang pakar bidang tertentu yang menulis di koran atau muncul di tivi. Apalagi jika namanya hanya muncul sesekali. Di sini, konsistensi berekspresi adalah kunci utama, dan kecepatan pesan terdistribusi adalah kunci keduanya.

Kolam kedua adalah kolam hiburan. Di sini, para pemimpin opininya adalah mereka yang sudah terjun ke dunia hiburan konvensional. Ya artis, ya penyanyi, ya musisi, ya seniman, ya aktor, ya sebangsa gitulah. Para insan di kolam ini, secara tradisional sudah punya pengikut, punya fans, punya penggemar. Maka, mudah saja bagi mereka untuk menjadi pemimpin atau pembentuk opini.

Ketika politik menjadi panglima di panggung media dan media sosial, orang-orang yang berada di kolam itulah yang paling sukses memanen. Tapi di antara yang paling sukses, tentu saja adalah orang yang sudah berkecimpung lama di kolam hiburan, sekaligus masuk dan menceburkan diri ke kolam politik.

Sekarang, ketika politik sudah mulai membosankan dan memuakkan bagi sebagian orang, yang menarik tentu saja adalah kolam ekonomi dan usaha. Usaha di sektor riil ataupun usaha di sektor non riil. Riil di sini maksudnya tentu saja adalah yang produk barang dan jasanya dapat dirasakan dan dilihat bentuknya. Yang tidak riil adalah usaha yang digerakkan oleh dunia simbol, entah itu mata uang biasa, mata uang digital, ataupun kertas berharga seperti saham.

Endorser di sektor non riil ini sekarang mulai menyeruak. Seseorang yang sudah sangat ngetop, menjadi pemimpin dan pembentuk opini untuk urusan apa saja, tiba-tiba menjadi tukang dorong untuk mengetopkan saham-saham di pasar bursa.
Di satu sisi, ini tentu menarik dan positif. Artinya, orang kita makin melek dengan bisnis dan investasi di sektor surat berharga ini. Makin banyak orang yang merasa bahwa saham adalah salah satu investasi yang menjanjikan. Tentu dengan segala syarat dan ketentuannya. Disklenger mode on, kalau dalam istilah para investor saham.

Sekarang coba Anda simak, banyak pembentuk dan pemimpin opini publik mempromosikan kode-kode saham tertentu. Alasannya ya bermacam-macam. Ini tentu saja menarik, karena membuat yang awam jadi paham, dan yang sudah paham makin jagoan soal dunia saham.

Tapi, rupanya gejala ini juga bisa membahayakan. Di AS, seseorang yang tidak memiliki sertifikasi tertentu untuk menjadi analis atau pengamat, dilarang memberikan opininya tentang saham. Sebelumnya, beberapa media yang kredibel, juga memberlakukan aturan bagi wartawannya untuk tidak memiliki saham.
Alasannya sederhana. Mereka bisa membentuk opini dan membentuk persepsi pasar tertentu. Bisa membuat sebuah kode saham over price =lebih mahal daripada bisnis riilnya- atau under price -nggak sekinclong bisnis riilnya.

Tentu saja, ini sebuah gejala ekonomi baru. Saya belum tahu ujungnya ini akan ke mana. Tapi saya kadang-kadang juga ikut-ikutan gatal alias tergoda untuk ngekepi saham-saham tertentu yang disebut oleh para endorser. Tapi dalam dunia saham, analisis teknikal dan fundamental pasti jauh lebih presisi. Yang sudah pasti presisi tentu saja adalah satu, ikut kata BDR.***

*Alois Wisnuhardana adalah praktisi perbankan