Kejati Lampung Tetapkan Dirut PT LJU sebagai Tersangka Dugaan Korupsi Pengadaan Batu-Pasir Jalan Tol

KANALLAMPUNG.COM –– Kejaksaan Tinggi Lampung menetapkan Direktur PT  Lampung Jasa Utama (LJU) inisial AJU sebagai tersangka dugaan  korupsi pengadaan batu dan pasir untuk Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) tahun anggaran 2016-2018. Kerugian negara ditaksir mencapai Rp3 miliar.

“Selain AJU, kami juga menetapkan AJY, rekanan yang bekerjasama PT LJU,  sebagai tersangka,” kata Kepala Kejati Lampung, Heffinur,  saat jumpa pers di Kantor Kejati Lampung, Rabu (21/4/2021).

Menurutnya,  penetapan kedua tersangka tersebut dilakukan setelah Kejati Lampung mengumpulkan sejumlah alat bukti dan keterangan para saksi berjumlah 25 orang.

Selama tiga tahun, BUMD PT LJU yang mayoritas pemegang sahamnya adalah Pemerintah Provinsi Lampung itu telah melakukan penyertaan modal kepada BUMD PT LJU sebesar Rp30 miliar.

“Uang itu dibayarkan secara bertahap untuk PT LJU dengan tujuan untuk meningkatkan Pendapatan Aset Daerah (PAD) Provinsi Lampung. Namun, pada kenyataanya BUMD PT LJU selama tiga tahun tidak memberikan kontribusi yang optimal kepada Provinsi Lampung,” kata Heffinur.

Feffinur mengatakan, korupsi ini dilakukan dengan modus jual beli fiktif.

“Perusahaan batu dan pasir ini bukan perusahaan sebenarnya. Batu dan pasirnya tidak ada.Begitu juga dengan lahan batu yang juga tidak punya. Sistem pembayarannya bersifat preorder. Uang keluar, tetapi tidak ada pengiriman barang,” katanya.

Menurut Feffinur dari nilai kerjasama AJU dan AJY ini berjumlah Rp7 miliar, kerugian yang dialami negara mecapai  Rp3 niliar.

“Tapi jumlah resminya hingga kini kami masih dalam penghitungan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Meski demikian keduanya belum ditahan, karena masih mengumpulkan barang bukti dan lainnya,” ujar Heffinur.

Heffinur mengungkapkan, dalam mengelola keuangan di  perusahaan pelat merah milik Pemprov Lampung itu, pengeluaran  keuangan tidak direncanakan dan tidak digunakan sesuai tujuan yang bisa dipertanggungjawabkan.

Menurut Heffinur, hal itu  bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Menurut UU tersebut,pengelolaan BUMD harus memenuhi tata kelola perusahaan yang baik.

Atas perbuatan ini, keduanya dijerat Pasal 2 ayat 1 Juncto Pasal 18 ayat 1, 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang RI Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.