Alois Wisnuhardana
Beredar pekan lalu, video yang menggambarkan betapa cemburunya Malaysia terhadap Indonesia. Kasus Covid-19 di Indonesia lebih teruk, tapi investasi ke Indonesia justru mengalir di tengah pandemi, sementara yang lain kabur dari sana.
Pemerintah Malaysia memang masih berjuang mencari strategi mengatasi pemulihan ekonomi, yang ternyata kondisinya jauh lebih parah dan lebih rumit daripada Indonesia.
Pemerintahan PM Muhyiddin baru saja mengumumkan undang-undang darurat yang membolehkan Pemerintah melakukan berbagai langkah untuk memperbaiki ekonomi yang dihajar pandemi. Alih-alih menjadi obat penawar, sebagian kalangan menilai langkah itu justru menurunkan kepercayaan investor.
Analis CGS-CIMB mengungkapkan bahwa Pemerintah Malaysia –dengan undang-undang tersebut—memiliki kuasa lebih besar setelah keadaan darurat nasional dideklarasikan pada Selasa, 12 Januari 2021 lalu. UU tersebut dimaksudkan menjadi solusi bagi Pemerintah mengatasi permasalahan konkret mengatasi krisis kesehatan dan kontraksi ekonomi.
Keadaan darurat yang diumumkan tersebut berbarengan dengan penguman lockdown oleh Pemerintah selama dua pekan ke depan, sedangkan keadaan daruratnya sendiri diproyeksikan akan berlangsung hingga 1 Agustus mendatang.
Sontak, kebijakan yang beruntun tersebut langsung direspons dengan pemangkasan proyeksi pertumbuhan ekonomi Malaysia sebanyak 1,5 persen dari pada sebelumnya. Wellian Wiranto, ekonom Oversea-Chinese Banking Corp (OCBC) memperkirakan hambatan dalam mencari momentum pemulihan ekonomi, sehingga pertumbuhan PDB yang ditargetkan sebesar 6,5-7,5 persen yang ditargetkan oleh pemerintahan sebelumnya akan sulit tercapai.
Deklarasi Darurat
Pemerintah Malaysia mengumumkan deklarasi darurat setelah jumlah kasus infeksi Covid-19 mencapai rekor tertinggi sejak pandemi merebak, dan mengakibatkan sistem kesehatan Malaysia –rumah sakit dan layanan medis—berada pada kondisi puncak alias kebanjiran pasien-pasien baru yang terpapar virus.
Berdasarkan proyeksi RHB Bank, kebijakan lockdown yang diambil Pemerintah kali ini –meskipun tidak akan berdampak separah lockdown pertama bulan Maret tahun lalu—akan membuat ekonomi Malaysia mengalami kerugian sekitar 3 miliar ringgit atau setara dengan 750 juta USD per pekan, hanya karena rantai produksi-konsumsi yang terguncang karena lockdown.
Analis yang lain –seperti BIMB Securities Research—mengkhawatirkan intervensi yang tidak diawasi secara ketat oleh parlemen akan membahayakan stabilitas pasar ekonomi Malaysia. Langkah itu seperti mengirim sinyal negatif kepada investor –yang sebagian sudah telanjur kabur dan memindahkan rencana bisnisnya termasuk ke Indonesia.
Mengapa Pemerintah Malaysia mengambil keputusan darurat tersebut?
Salah satunya adalah untuk menciptakan stabilitas politik sejak tergulingnya Perdana Menteri Najib Razak, yang dilanjutkan dengan kembalinya Mahathir Muhammad ke panggung politik, sampai dengan terpilihnya Muhyiddin Yassin sebagai perdana menteri yang baru. Dari sisi politik, itu memang menciptakan kestabilan, setidaknya sampai dengan bulan Agustus mendatang karena pemerintahan tidak diganggu urusan pemilihan raya. Namun secara ekonomi, Malaysia benar-benar sudah sangat terpukul akibat pandemi sejak kuartal kedua tahun lalu (2020), meskipun mengalami rebound atau pembalikan pada semester kedua (Juli 2020).
Pemerintah Malaysia sendiri membuat proyeksi bahwa ekonomi terkontraksi sebesar 4,5 persen pada tahun 2020. Tentu saja, pemberlakuan kondisi darurat diharapkan akan memperkuat upaya rebound. Akan tetapi, kondisi ekonomi Malaysia terus melemah. Kurs ringgit terhadap dolar AS (USD) terus melemah dan makin turun ke level terendah setelah pengumuman kondisi darurat tersebut.
Ekonom Bloomberg Economics untuk Wilayah ASEAN Tamara Mast Henderson mengungkapkan, kemungkinan ekonomi Malaysia akan terkontraksi sebesar 1,1 persen secara year on year pada kuartal pertama tahun 2021. Artinya, pertumbuhan ekonomi kuartal pertama 2020 yang sudah terpukul oleh pandemi, pada kuartal yang sama tahun 2021 ini akan turun lagi sebesar yang diproyeksikan ekonom tersebut.
Otoritas moneter Malaysia masih mencoba mencari celah dan peluang untuk kembali mengarahkan arah ekonomi ke track yang lebih stabil. Bank Negara Malaysia (Bank Sentral) berencana memangkas tingkat suku bunga overnightnya sebesar 25 basis poin ke posisi terendah menjadi 1,5 persen. Namun langkah itu tentu saja membawa konsekuensi makin menumpuknya uang di sejumlah bank akibat ekonomi sektor riil yang tidak kunjung bergerak akibat kebijakan lockdown.
Memang benar, kondisinya amat pelik bagi negeri tetangga kita. Mudah-mudahan saja, mereka segera menemukan jalan yang lebih baik, supaya Upin-Ipin bisa tersenyum lebih ceria.***
*Praktisi Perbankan