Cerpen Toto Dartoyo
Begitulah mestinya pemimpin. Ia harus rela berkorban dengan pikiran, perasaan, harta, bahkan nyawa sekalipun. Selain itu, karena dia berada di garis depan, maka dia adalah panutan. Harus memberi contoh. Contoh yang baik.
Narasi itulah yang kini menyeruak dan menghunjam benak orang-orang kampung. Di antara mereka yang nongkrong di warung-warung kopi. Di antara anak-anak muda yang kongkow di brug pinggir desa. Juga di waktu rehat menunggu pembeli, bakul-bakul di pasar tradisional, di surau, di masjid. Ramai.
Entah darimana nongolnya profil Pak Lurah yang terkesan hebat serta memuji-muji itu datang dan berkeliaran mencari-cari telinga penduduk. Masuk lalu menyumpal hati nurani serta membelokkan pikiran warga.
“Lha wong diseruduk celeng saja dibilang pahlawan?” ujar seseorang yang kontra dengan kabar yang tersebar itu.
“Jangan sembarangan. Dia sudah berusaha menyelamatkan nyawa si Tolib,” tegur temannya.
“Memangnya kamu menyaksikan sendiri saat pantatnya diseruduk?”
“Nggak.”
“Makanya aku heran sama orang-orang sini. Terutama dirimu!”
“Lha kamu sendiri ada di samping Pak Lurah saat dia berdarah-darah?” seru Paimun balik bertanya
“Lha iya!”
“Kenapa kamu nggak ngomong tentang peristiwa yang sebenarnya? Jika begitu kamu telah membiarkan kami tenggelam dalam lautan kebohongan?”
“Kamu tahu sendiri setelah kejadian itu aku jadi kenek Kang Paidi di Jakarta.” Temannya tengak-tengok. Takut ketahuan sedang berseberangan dengan kelompok Pak Lurah. Keadaan menjelang pencoblosan memang selalu begitu, panas, berapi-api, dan siap menjalar kemana-mana. Membakar siapa saja.
“Yang benar, peristiwanya bagaimana? Coba kamu ceritakan !”
“Kepo kamu, Mun.”
“Sssstt! Ayo cepat sebelum anak buah Pak Lurah datang,” pintanya tak sabar.
“Kamu siapkan saja logika yang waras. ”
“Ya sudah, apa?” harapnya dengan kepala diangkat.
“Begini,” jelasnya sambil menggeser duduk. “Waktu konser dangdut itu lagi ramai-ramainya, Si Tolib jatuh kesenggol anak buah Pak Lurah yang menggerombol di bagian depan panggung. Tapi entah kenapa Si Tolib malah yang dipukuli. Pak Lurah yang berada di atas panggung turun. Saya kira mau melerai, nggak tahunya malah ikut njotos. Lalu tiba-tiba entah darimana, muncul seekor celeng yang langsung nyruduk Pak Lurah itu. Suasana di konser kacau. Semuanya berlarian mencari selamat.
”Benar begitu?”
“Sumpah!”
“Terus kenapa berita yang beredar Pak Lurah berusaha menolong Si Tolib tapi bokongnya keburu diseruduk!”
“Aku yakin tim sukses Pak Lurah yang sudah mempreteli berita itu dan menggantinya!”
Lagi-lagi Paimun celingukan. Ia takut disergap anak buah Pak Lurah karena ketahuan sedang membocorkan rahasia atau menghinanya. Sebab dengan begitu, nama baik Pak Lurah yang sudah harum jadi busuk dan menurunkan kredibilitas atau menurunkan perolehan suaranya di acara pemilu desa nanti.
“Coba kamu pikir. Jika seseorang mau menghalangi datangnya marabahaya tentu ia menghadang marabahaya itu atau menyingkirkannya, bukan membelakangi. Sudahlah, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri kalau Pak Lurah itu nggebuk si Tolib! ”
“Kok bisa, ya? Pemimpin yang mestinya mengayomi malah menganiaya dan membohongi rakyat?”
“Aku juga nggak tahu!”
Paimun yang cemas celingukan lagi karena temannya ngomong cukup nyaring.
“Jadi selama ini kita sudah ditipu mentah-mentah!”
“Makan tuh berita!”
“Kamu nggak bohong, kan?”
“Tanya sendiri si Tolib!”
“Si Tolib sudah mati!”
“Hah? Kapan? Astaghfirullah!”
“Dua hari sehabis kamu ke Jakarta. Malah berita yang beredar sekarang Tolib mati diseruduk babi jadi-jadian.”
Selesai ngomong, mata Paimun terbelalak dan seperti hendak keluar. Dari kejauhan dilihatnya orang berduyun-duyun menuju arah mereka. Orang-orang ramai itu berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan berbagai senjata tajam. Pak Lurah ada di tengah-tengah mereka meski dengan jalan yang tertatih. Anjing-anjing yang mereka bawa menyalak buas seolah hendak menerkam siapa saja yang berani menghalangi. Dan kini, mereka berdua ada di depan orang-orang yang marah itu. Di depan anjing-anjing yang menggonggong serta penduduk yang mengamuk.
“Mati aku. Mati aku,” celetuk Paimun berkali-kali. Ia ingin lari, tapi dicegah temannya. Tubuhnya gemetar dan nglumpruk di tanah. Lunglai dengan celana yang basah. Teman di sampingnya membisu.
“Kamu nggak ikut menghajar babi-babi hutan yang suka menghabiskan tanaman milik kita, Mul?” teriak seseorang di tengah keriuhan ketika orang-orang melintas di depan keduanya.
“Memang kebun siapa yang diserang, Kang?” kata temannya yang dipanggil Mul tak kalah nyaring.
“Lik Marto!” jawabnya.
Plong. Lega rasanya. Seolah ada sesuatu yang meluncur lepas dari dada Paimun. Penduduk dengan tombak-tombak di tangan itu bukan hendak menyerang mereka berdua yang sedari tadi membahas Pak Lurah. Tapi hendak berburu babi hutan di sebelah barat desa.
“Nanti aku nyusul! Aku nggak bawa parang!”
Setelah arak-arakan berbelok dan menghilang di tepian kuburan desa, Mulyadi tak mampu menahan tawa.
“Kenapa kamu ketawa?” tanya Paimun sengit.
“Hahahahaha…!” katanya sambil menutup hidung karena bau pesing yang tiba-tiba datang dan menyergap keduanya.
“Brengsek kamu!”
***
“Ini nggak ditambah lagi, Pak?” seru Cadil cengengesan.
“Halah, kamu kerja apa selama ini?” kata Pak Lurah meringis menahan sakit.
Diraihnya minuman. Kepalanya mulai terasa pening. Tapi tenggorokannya masih bernafsu untuk menerima beberapa tetes air beraroma tak sedap itu. Orang-orang tergeletak di dekatnya. Hanya Cadil dan satu temannya saja yang berdiri.
Cadil masih merajuk, “Saya kan yang punya ide untuk tim sukses agar luka Pak Lurah jadi komoditi laris sehingga nama Pak Lurah naik daun dan nanti orang-orang mau nyoblos gambar jagung milik Bapak. Buktinya orang-orang kini ramai membicarakan kepahlawanan Bapak!”
Kepala Pak Lurah makin pening dan tak mau bertambah pening dengan ocehan anak buahnya itu. Buru-buru dirogohnya sakunya. Beberapa lembar uang telah berpindah.
Cadil sumringah. Ia pamit.
Malam makin larut. Beberapa kelelawar menabrakkan diri pada mangga yang ranum. Cadil dan temannya meluncur di kegelapan dengan mulut bahagia.
***
Biasanya binatang itu turun ke ladang penduduk di malam hari, tapi akhir-akhir ini sudah berani turun sore dan siang hari. Bahkan pagi. Penduduk merasa kesulitan membasmi hama yang sudah merusak kebun, menghabiskan singkong, ubi jalar, maupun jagung serta padi gogo milik mereka. Sudah diendrin dan mati namun semakin banyak yang muncul. Diendrin lagi dan mati, tapi kemudian yang datang makin menggila. Begitu seterusnya.
Yang lebih meresahkan, babi hutan atau celeng itu kini berani muncul di keramaian dan tak segan menyeruduk orang-orang desa. Anak-anak maupun orang dewasa, laki-laki maupun wanita. Bapak-bapak ataupun ibu-ibu tak ketinggalan. Kakek-kakek, nenek-nenek yang apabila berjalan saja susah apalagi. Semuanya kena. Tak pandang bulu. Entah dianggapnya apa mereka itu.
Binatang bertaring itu suka muncul tiba-tiba dari tempat yang gelap atau kerimbunan pohon dan menubruk begitu saja. Mungkin mereka hendak balas dendam saat penduduk mengejar-ngejar mereka tempo hari. Jadilah para warga ketakutan. Tidak ada yang berani keluar rumah. Apalagi sendirian di malam hari. Pernah ada yang nekat mencoba, tapi paha dan badannya luka-luka. Karuan bapak dan keluarga besarnya marah-marah.
Lagi. Warga mulai mempersiapkan diri, tapi bukan hendak ke ladang. Dimana-mana orang bergerombol dengan senjata di tangan hendak berburu kembali. Anjing menyalak di sana-sini. Anak-anak tidak diperkenankan ke luar. Sekolah diliburkan.
Suasana kampung bak hendak perang. Tampaknya genderang perang telah ditabuh kembali. Ditambah Pak Lurah mengiming-imingi hadiah bagi siapa yang berhasil membunuh seekor celeng. Ya, seekor celeng dihargai seratus ribu rupiah. Tentu saja suasana jadi tambah meriah. Jika mendapat sepuluh, tinggal kalikan saja. Warga tentu semangat karena celeng melimpah. Apalagi penghasilan mereka sebagai kuli atau buruh tani yang tak begitu wah.
Tak ada yang tahu sejak kapan binatang hutan itu berani menggerogoti ketenangan warga. Kabarnya sejak pohon-pohon di sebelah barat desa dibabat. Hewan itu mula-mula satu atau dua ekor saja, lama-lama berkelompok. Tampaknya mereka berani karena makanan di hutan habis. Mereka kelaparan.
Penduduk bukan tidak tahu kalau hutan digunduli dan celeng-celeng kelaparan. Mereka tahu dari ratusan kubik kayu yang setiap minggu merayap ke kota atau entah ke mana. Mereka tahu, tapi siapa yang berani menegur atau melawan. Ya, siapa yang berani mengepal tangan? Centeng Pak Lurah ada dimana-mana dan bersenjata. Apalagi jika beliau sudah membagi-bagikan “uang berkah” dengan dalih kompensasi. Masyarakat akan lupa atau tak peduli tentang siapa yang telah menyiksa hutan hingga sekarat.
Entahlah. Pokoknya dengan uang yang bisa mereka gunakan untuk membeli beras, derita kelaparan yang mereka tanggung seolah teratasi. Meski harus menerima komplikasi bencana yang lebih dahsyat lagi.***
Cirebon, Syawal 2019.